Pihak Badan Pengelola Istiqlal mengaku bahwa Ceramah Tokoh Syiah dari Iran di Masjid Istiqlal Jakarta (yang kini meresahkan umat Islam) itu adalah Inisiatif Sekolah Tinggi Sadra.
Sekolah Tinggi Sadra di Jakarta yang para pengajarnya banyak dari alumni Iran itu siapa yang meresmikannya?
Ternyata yang meresmikannya adalah Prof. M. Zein, selaku pewakilan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kemenag, dihadiri pula oleh Wakil Menteri Agama, Prof Dr Nasarudin Umar , Juli 2012.https://www.nahimunkar.com/diresmikan-sekolah-tinggi-filsafat-sadra-filosof-syiah-di-jakarta/ . Sehingga benarlah keluhan imam besar Masjid Istiqlal bahwa perizinan ceramah itu di tangan Badan Pengelola Istiqlal yang kewenangannya di bawah Kementerian Agama.
Inilah beritanya.
Baca artikel  selengkapnya di BUKTI KEBENARAN SYIAH tafhadol
Badan Pengelola Istiqlal: Ceramah Tokoh Syiah Inisiatif Sekolah Tinggi Sadra
Rabu 3 Safar 1436 / 26 November 2014 11:21

MASJID Istiqlal akhir-akhir ini menjadi buah bibir. Sebab ulama syiah Iran, Ali Akbar Rashad, lolos ceramah di Masjid terbesar se-Asia Tenggara itu pada Jum’at (21/11). Masyarakat pun mengkritik Badan Pelaksana Masjid Istiqlal yang berada di bawah Kementerian Agama tersebut.
Mendengar hal ini, Ketua Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal, H Mubarak menegaskan bahwa ulama tersebut tidak menyebarkan dan menonjolkan pahamnya.
“Dia ceramah tentang peran negerinya di dalam konstelasi dunia Islam. Dia juga menyeru persatuan atau kerukunan umat Islam, dan mendukung perjuangan palestina. Dia tidak ceramah tentang paham yang dia anut atau menonjolkan ajarannya,” ujarnya saat ditemui Islampos di Masjid Istiqlal, Selasa, (25/11).
Saat ditanya, apakah dirinya tahu paham tokoh itu syiah? Mubarak menjawab pihaknya tidak menelisik paham ulama itu. Meskipun, lanjutnya, secara umum orang-orang memahami yang datang dari Iran itu pahamnya Syiah, akan tetapi dia shalat Jum’at.
“Mereka (orang Iran,red) biasa ke Masjidil Haram dan berziarah ke Madinah. Mereka juga pergi haji. Ukuran saya, banyak orang Iran yang pergi haji. Ini bukan pertama kali ulama Iran ceramah di masjid Istiqlal, tapi sudah sering,” tambahnya.
Dia menjelaskan, ceramah tersebut datang atas permintaan Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra kepada Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal. “Ceramah ini inisiatif mereka,” ujarnya.
Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra sendiri didirikan pada tahun 2012 di Jakarta Selatan. Saat didirikan ketua Prodi dipegang antara lain Dr Umar Shahab, MA dan Dr. Haidar Bagir MA.
Beberapa pengajar dalam sekolah tinggi filsafat ini adalah lulusan Iran. Di antaranya, Dr. Khalid Walid, alumnus dari Qom dengan desertasinya “Pandangan Eskatologi Mulla Shadra”. Walid juga Wakil Ketua Yayasan Hikmat Al-Mustofa Jakarta. Kini Walid dipercaya sebagai Ketua STFI Sadra. Pengajar lain juga ada Abdullah Beik, MA, lulusan Qom tahun 1991 dan Dr. Muhsin Labib.
Syiah Punya Strategi Taqiyyah
Menanggapi hal ini, Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali Musthofa Ya’kub mengungkapkan, meskipun ulama syiah itu tidak menyebarkan pahamnya, namun itu hanya strategi taqiyah (kebohongan) saja ketika syiah lemah atau tidak berkuasa.
“Setelah saya mendengar terjemahan ceramahnya, memang benar ulama syiah itu tidak menyebarkan paham syiah. Akan tetapi isi ceramahnya ada yang menyerempet-menyerempet. Ulama syiah itu mengatakan tidak ada dikotomi antara syiah dan ahlussunnah,” tuturnya kepada Islampos melalui sambungan telepon, Rabu pagi (26/11).
Dia menambahkan, isi ceramah ulama syiah yang menyeru persatuan umat Islam itu, tidak sesuai dengan kenyataan.
“Setiap musim haji yang saya amati, orang syiah tidak mau shalat di belakang orang ahlussunnah. Kemudian di Iran, muslim tidak diberi hak hidup. Kemudian apakah ada masjid-masjid ahlussunnah di Iran?” ujarnya.
Mengenai hajinya orang-orang syiah, menurut ulama alumni Universitas Islam Muhammad Imam bin Saud, Riyadh ini, karena orang syiah menggunakan strategi taqiyyah dengan mengaku-ngaku muslim. “Jangankan orang syiah, orang sesat di Indonesia juga bisa pergi haji karena mengaku muslim. Jadi kita tidak bisa salahkan Arab Saudi,” katanya.
“Oleh karena itu, kalau Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal belum tahu syiah, tanya kepada ahlinya. Jangan memutuskan sendiri,” tambahnya. [Andi/Islampos]
***

Diresmikan, Sekolah Tinggi Filsafat Sadra (Filosof Syi’ah) di Jakarta

By nahimunkar.com on 14 July 2012
  • Dinilai dekat dengan aliran sesat Syi’ah
  • Beberapa pengajarnya lulusan Iran
  • Untuk mengajarkan tentang idiologi adanya Al Qur’an versi Syi’ah?
Mengaku sempat terseok-seok selama dua tahun akibat kendala perizinan, akhirnya Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STIF) Sadra resmi berdiri tahun ini.
Lembaga yang berdiri di bawah naungan Yayasan Hikmat Al Mustafa Jakarta ini diresmikan oleh Prof. M. Zein, selaku pewakilan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kemenag.
Dalam pernyataannya, M. Zein sempat memberikan apresiasi terhadap sekolah filsafat ini. Ia bahka berharap STFI Sadra dapat menjadi kebanggaan umat Islam dalam mempelajari filsafat, al-Qur’an dan Hadits.
“Rasulullah bersabda ambillah hikmah dar imanapun asalnya,” ujarnya saat launching di Gedung Sucofindo, Jakarta Selatan, Kamis, (12/07/2012) kemarin.
Acara dihadiri oleh Wakil Menteri Agama, Prof Dr Nasarudin Umar dan Perwakilan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Prof M. Zein. Juga dihadiri Dewan Penyantun STFI Sadra, Prof. Umar Shihab, Ketua STFI Sadra Umar Shahab dan Direktur Mizan Dr Haidar Bagir,  dan sejumlah pembicara beserta undangan.
Sementara itu Profesor Ahmad Fazeli, Ketua Yayasan Hikmat Al Mustafa turut berterimakasih kepada Kementerian Agama (Kemenag) yang mengeluarkan izin sekolah filsafat ini. Ia berharap smoga STFI Sadra memberikan sumbangan pemikir bagi perkembangan negeri ini.
Beberapa dosen di Sekolah ini di antaranya Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof Dr. Abdul Hadi MM, Dr. Haidar Bagir (Mizan), Dr Umar Shahab, Dr. Muhsin Labib, Dr. Zainal Abidin Bagir (Center for Religious and Cross-Cultural Studies/CRCS), Dr Donny Gahral Adaian, Prof. Dr Rosikhon Anwar (Guru Besar Ilmu Al-Quran UIN Sunan Gunung Djati Bandung) juga Dr. Khalid Walid, alumnus dari Hawzah Ilmiah Qom, Iran.
Ahmad Jubaili, Ketua Tim Perumus Kurikulum dikutip radio Iran, IRIB, mengatakan, kuliah yang disusun dirancang secara integral, saling terkait. Kampus ini menurutnya merupakan tempat kajian ilmiah yang merujuk pada Filsafat Mulla Sadra yang mampu menggabungkan seluruh pendekatan keilmuan, terutama teologi, filsafat dan Tasawuf.
Mulla Shadra mempunyai nama lengkap Shadr al Din Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yahya Qawami al Syiraz, seorang filsuf terbesar mazhab Syiah Imamiyah.
Sekolah ini dikembangkan dengan model boarding (berasrama) yang direncanakan menampung setiap tahun 80 mahasiwa laki-laki dan perempuan yang direkruit secara ketat dari sekolah terbaik (SMA, Pesatren) di seluruh Indonesia. Mahasiswa yang lulus seleksi di beri beasiswa secara penuh selama  7 tahun.
Sementara itu, Fahmi Salim, MA, Wakil Sekjen Majelis (Waskjen) Intelektual dan Ulama Muda Indonesia, serta Komisi Pengkajian di MUI Pusat mengatakan, dari bentuknya, lembaga ini dinilai dekat dengan Syiah.
“Karena selama ini, gerakan Syiah masuk melalui filsafat,” ujarnya kepada hidayatullah.com, Jumat (13/07/2012) siang.*
Rep: Pizaro
Red: Cholis Akbar
Jum’at, 13 Juli 2012
Hidayatullah.com— Berdiri Sekolah Tinggi Filsafat Islam Pertama, Dinilai “Berbau” Syiah.
** *
Beberapa pengajarnya lulusan Iran
Menandai peluncuran, STFI Sadra membuka dua program studi yakni Filsafat Islam dan Ilmu Qur’an dan Tafsir. Pada angkatan pertama sekolah yang berlokasi di Jalan Pejaten Raya ini menampung 80 mahasiswa baik jalur beasiswa maupun berbayar.
Beberapa pengajar dalam sekolah tinggi filsafat ini adalah lulusan Iran. Di antaranya, Dr. Khalid Walid, alumnus dari Qom dengan desertasinya “Pandangan Eskatologi Mulla Shadra”. Walid juga Wakil Ketua Yayasan Hikmat Al-Mustofa Jakarta. Pengajar lain juga ada Abdullah Beik, MA, lulusan Qom tahun 1991.
Sementara masuk dalam kepengurusan STFI Sadra, antara lain; Dr Umar Shahab, MA (Ketua Prodi Filsafat Agama STFI Sadra), Dr. Haidar, MA (Ketua Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir), Dr. Kholid Walid, MA (Wakil Ketua Yayasan Hikmat Al-Mustofa Jakarta), Abdullah Beik, MA (Dosen STFI Sadra Jakarta, tulis arrahmah.com.
***
Untuk mengajarkan tentang idiologi adanya Al Qur’an versi Syi’ah?
STIF Sadra ini ada Dr. Haidar, MA yang jadi Ketua Prodi –program studi– Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Beberapa waktu lalu orang itu pernah polemic di Republika, mengenai Syi’ah dan kaitannya dengan Al-Qur’an.
Untuk mengungkap ideology Haidar Baqir dilihat dari tulisannya, maka berikut ini kami tampilkan tanggapan Dr Arifin Baderi alumni Jami’ah Islamiyah Madinah.
Inilah tanggapan beliau terhadap tulisan Haidar Baqir.
***
Trimakasih Kepada Bapak Haidar Bagir, Atas Pegakuannya.
Sepandai-pandai tupai melompat, pasti kan terjatuh juga. Pepatah ini adalah hal pertama yang melintas dalam pikiran  saya ketika membaca tulisan bapak Haidar Bagir di harian Republika (20/1/2012) dengan judul: Syiah dan Kerukunan Umat.
Bapak Haidar Bagir dengan segala daya dan upayanya berusaha menutupi beberapa idiologi Si’ah yang menyeleweng dari kebenaran. Walau demikian, tetap saja ia tidak dapat melakukannya. Bahkan bila anda mencermati dengan seksama, niscaya anda dapatkan tulisannya mengandung pengakuan nyata akan kesesatan sekte Syi’ah Imamiyyah.
Berikut saya ketengahkan ke hadapan anda empat pengakuan terselubung bapak Haidar Bagir.
Pengakuan Pertama :
Data Syi’ah Imamiyah tentang idiologi adanya Al Qur’an versi Syi’ah begitu melimpah dalam berbagai referensi Syi’ah. Wajar bila Bapak Haidar Bagir tidak menemukan cara untuk mengingkarinya. Fenomena ini mengharuskannya untuk menempuh cara selain menutupinya. Dan ternyata Bapak Haidar Bagir lebih memilih untuk mengesankan bahwa data tersebut adalah pendapat pribadi sebagian tokoh syi’ah Imamiyah. Karena itu, tulisan bapak Haidar Bagir ini mengandung pengakuan bahwa idiologi tentang adanya Al Qur’an versi Syi’ah Imamiyyah adalah benar-benar nyata, dan bukan tuduhan semata.
Adapun klaim bapak Haidar bahwa idiologi ini adalah idiologi sebagian oknum Syi’ah maka itu menyelisihi fakta yang ada. Sebagai salah satu buktinya, Ayatullah Ali Khamenei, yang mereka anggap sebagai Wali Faqih, dan tokoh terkemuka Syi’ah Imamiyah zaman ini teryata masih mengajarkan hal ini. Dalam kitabnya Kasyful Asrar hal. 149 ia menyatakan: “Telah kami buktikan pada awal pembahasan ini, bahwa Nabi menahan diri dari membicarakan masalah al imaamah (kepemimpinan) dalam Al Qur’an. Alasannya beliau khawatir Al Qur’an akan diselewengkan, atau timbul perselisihan yang sengit di tengah-tengah kaum muslimin, sehingga hal itu berakibat buruk bagi masa depan agama Islam.”
Adapun keberadaan Mushaf Utsmani di tengah-tengah para penganut Syi’ah Imamiyah maka itu belum cukup kuat untuk mengingkari adanya mushaf Fatimah dalam idiologi Syi’ah. Yang demikian itu karena tokoh Syi’ah Imamiyah sejak dahulu mengajarkan agar para pengikut mereka untuk sementara membaca Al Qur’an yang ada, hingga kelak Imam Mahdi yang mereka yakini bangkit.
Al Kulaini dalam kitanya Al Kaafi 2/619, meriwayatkan bahwa Abu Hasan Ali bin Musa Ar Ridha, bertanya kepada Abu Ja’far :  Semoga aku menjadi penebusmu, kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an yang tidak ada pada Al Qur’an kita ini. Sebagaimana kita juga tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari anda, maka apakah kami berdosa? Beliau menjawab: Tidak, bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajarkannya kepada kalian.”
Adapun tokoh-tokoh sunni yang oleh bapak Haidar diklaim telah berpendapat tentang adanya perubahan pada Al Qur’an, adalah klaim sepihak yang kosong dari bukti. Karena pernyataan sahabat Umar bin Al Khatthab tentang ayat rajam adalah penjelasan tentang adanya ayat yang oleh Allah Azza wa Jalla dianulir/dihapuskan secara bacaan namun hukumnya masih tetap berlaku. Sebagaimana ulama’-ulama’ sunni juga menegaskan bahwa dalam Al Qur’an terdapat beberapa ayat-ayat yang kandungan hukumnya telah dihapuskan walau secara bacaan masih tetap ada.  Fakta ini bukanlah hal aneh, karena telah dijelaskan pada ayat 106, surat Al Baqarah.
Namun tentu syari’at nasekh (anulir) suatu ayat menurut sunni menyelisihi idiologi perubahan Al Qur’an dalam doktrin Syi’ah Imamiyah. Nasekh menurut sunni hanya terjadi semasa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sepeninggal beliau maka tidak terjadi nasekh.
Ditambah lagi menurut syariat sunni, hingga hari qiyamat tidak ada yang mengembalikan ayat-ayat yang semasa Nabi hidup shallallahu ‘alaihi wa sallam mansukh (dianulir).
Sedangkan menurut sekte Syi’ah Imamiyyah Al Qur’an mengalami perubahan sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Dan kelak ayat-ayat yang dirubah sepeninggal beliau akan dikembalikan lagi oleh imam mereka ke-12. Karena itu, sekte Syi’ah senantiasa menantikan kehadiran sosok tersebut, yang mereka yakini sebagai Imam Mahdi.
Pengakuan Kedua :
Pada awal tulisan, Bapak Haidar mengklaim bahwa celaan syi’ah terhadap sahabat hanyalah sebatas kecenderungan dan bukan ajaran. Menurutnya, syi’ah yang mencela sahabat Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan juga sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamhanyalah minoritas.
Selanjutnya Bapak Haidar berusaha menguatkan klaim ini dengan menyebutkan sekte Syi’ah Zaidiyah. Menurutnya sekte Zaidiyah menerima kekhilafahan sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Penuturan ini adalah bukti nyata bahwa Bapak Haidar telah memutar balikkan fakta. Sejatinya Bapak Haidar Bagirlah yang telah menggunakan data syadz (ganjil) guna mendukung kesimpulanya. Karena sekte Zaidiyah adalah sekte minoritas syi’ah, sedangkan meyoritas syi’ah saat ini adalah para pengikut sekte Imamiyyah.
Terlebih lagi, adanya pengakuan terhadap kekhilafahan sahabat Abu Bakar Umar dan Utsman adalah alasan Imamiyah mengucilkan sekte Zaidiyah.
Adapun beberapa tokoh syi’ah Imamiyyah yang disebut oleh bapak Haidar telah mengakui kekhilafahan ketiga sahabat di atas, maka saya tidak ingin banyak mempersoalkannya. Saya hanya ingin bertanya: apakah pengakuan tersebut diamini oleh tokoh Imamiyyah yang lain dan kemudian diterapkan oleh seluruh penganut Imamiyah?
Fakta yang terjadi di lapangan membuktikan bahwa pengikut syi’ah imamiyah tetap saja melaknati ketiganya dan juga lainnya. Kasus sampang dan berbagai kasus serupa di negri kita adalah salah satu buktinya. Karena itu Abu Lukluah Al Majusi aktor pembunuh Khalifah Umar bin Khatthab diagungkan oleh sekte Imamiyah sehingga mereka menjulukinya dengan Baba Suja’uddin. Dan sebagai apresiasi atas jasanya membunuh Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab, mereka membangun kuburannya dengan megah.
Pengakuan Ketiga:
Kebesaran jiwa ulama’-ulama’ sunni dan juga seluruh umat sunni untuk menghentikan kemungkaran yang dilakukan oleh dinasti Abbasiyah. Sehingga mereka semua patuh dan mengapresiasi sikap Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menginstruksikan hal tersebut.
Namun hal serupa hingga saat ini tidak kuasa dilakukan oleh para penganut ajaran syi’ah Imamiyah. Sehingga walaupun para aktor sandiwara taqrib telah menyerukannya, namun tetap saja di lapangan para penganut Syi’ah terus mencaci sahabat-sahabat Nabi. Sikap Yasir Al Habib beserta para pengikutnya dan juga syi’ah di Sampang adalah bukti nyata, bahwa seruan tersebut hanyalah seruan tanpa pembuktian.
Pengakuan bapak Haidar ini, dapat menjadi bukti nyata bahwa hanya dengan mengikuti ajaran sunnilah kedamaian antar komponen umat Islam dapat terwujud. Adapun ajaran syi’ah, terlebih Imamiyyah, hingga saat ini terus menjadi biang terjadinya permusuhan bahkan perang saudara di tengah-tengah umat Islam. Sikap pasukan Al Hutsi di Yaman yang menyerang sunni di daerah Dammaj, dan juga pasukan Al Mahdi di Irak yang membantai sunni adalah bukti nyata akan hal tersebut.
Pengakuan Keempat :
Bapak Haidar Bagir juga mengakui bahwa sekte Syi’ah yang selama ini menjadi biang kericuhan umat Islam adalah Syiah Imamiyah atau Itsna ’Asyariyah. Karena itu beliau merasa perlu untuk mengutarakan adanya perubahan pandangan tentang keabsahan khilafah sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Walau demikian, ada satu fakta yang mungkin kurang diwaspadai oleh bapak Haidar Bagir. Mengakui adanya perubahan ini sejatinya adalah pengakuan bahwa idiologi Imamah versi Imamiyyah adalah sesat. Andai tidak sesat, buat apa beliau perlu mengutarakan adanya ralat yang dilakukan oleh sebagian tokoh sekte Imamiyah?
Terlebih sejatinya idiologi bahwa imam (penguasa umat) dalam Islam hanya berjumlah 12 orang, adalah idiologi tidak nyata dan tidak masuk akal. Anda pasti telah mengetahui bahwa dari kedua belas imam Syi’ah yang benar-benar pernah mengenyam sebagai khalifah hanyalah sahabat Ali bin Abi Thalib dan putranya Al Hasan.
Adapun Al Husain beserta anak cucunya, maka hingga mereka meninggal dunia, tidak seorangpun yang sempat menjadi pemimpin. Sehingga berbagai dalil yang mereka yakini tentang keimaman mereka benar-benar menyelisihi fakta.
Secara defacto seluruh ahli sejarah sepakat bahwa Al Hasan bin Abi Thalib telah menyerahkan khilafah (kekuasaan) kepada sahabat Mu’awiyah.
Bahkan Al Husain bin Abi Thalib yang hendak merebut khilafah dari Yazid bin Mu’awiyah, menemui kegagalan dan terbunuh sebelum sempat mendapatkannya. Tak ayal lagi, ia hidup tanpa imamah, hingga akhir hayatnya, demikian pula nasib seluruh anak cucunya. Dengan demikian kesepuluh imam Syi’ah Imamiyyah setelah Al Hasan berstatus The Kings Without A Kingdom.
Ini adalah bukti nyata bahwa meyakini keimamahan kesepuluh imam sekte Imamiyah adalah kekeliruan, karena menyelisihi fakta. Sehingga wajar bila seluruh sunni dan juga setiap yang berakal sehat tanpa terkecuali umat Islam di negri kita tercinta ini menolak idiologi Syi’ah Imamiyyah.
Dr. Muhammad Arifin, Dosen Tetap STDI Imam Syafii Jember, dosen terbang Program Pasca Sarjana jurusan Pemikiran Islam Program Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan anggota Pembina Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI).
(nahimunkar.com)
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: